Selasa, 05 Januari 2010

ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN


Islam sebagai agama yang memadukan segala keseimbangan dalam kehidupan manusia, telah memberikan pijakan dasar dalam menyikapi kebutuhan materialnya. Cara pandang Islam terhadap harta adalah kunci memahami topik ini. Secara aksiomatik, Islam memandang harta itu sebagai perhiasan kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah,"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Padahal segala yang kekal lagi saleh itu lebih baik di sisi Tuhanmu karena itu adalah sebaik-baik pahala dan semulia-mulia harapan" (QS : Al-Kafi :6).
Harta pantas dijadikan perhiasan bagi manusia karena menilik definisinya sendiri, harta (al-Mâl) itu berasal kata mâla (condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi), dimaknai sebagai; “Segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat”. Selanjutnya menurut ulama bahasa Ibn Manzuur mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dikenali, dan apa yang kamu miliki dari keseluruhan benda. Dalam al-Qâmuus al-Muhiit juga dikatakan bahwa harta adalah apa yang kamu miliki dari semua benda.
Dalam Al-Qur’an harta disebutkan dalam 25 surat dan 46 ayat; sedang kaya/kekayaan disebutkan dalam 9 surat dan 11 ayat. Dari rangkaian ayat-ayat terkait, bisa ditemukan sebuah kesimpulan bahwa kekayaan dan harta itu adalah ciptaan Allah SWT, yang disimpan oleh Allah SWT dalam alam ini, dan kemudian dianugerahkan kepada manusia.Dia telah menundukkan pelbagai macam kekuatan alam dan energi untuk kepentingan manusia, sang khalifah. Sesuai dengan filsafat istikhlaf (pendelegasian wewenang kekhalifahan), pemilik yang sebenarnya dan pemilik langsung atas semua barang dan kekayaan di dunia ini adalah Sang Penciptannya, Allah SWT, yang memberikan dan menganugerahkannya kepada manusia.
Sebagai Khalifatullah fi al-ardh, manusia diperintahkan oleh Islam untuk memiliki keseimbangan antara tarikan kebutuhan material dengan kebutuhan spiritual. Kebutuhan material yang memadai akan memacuk tercapainya ketinggian spiritual. Allah berfirman, "Dan carilah olehmu segala kebahagiaan yang disediakan tuhanmu untuk kehidupan akhirat dan janglah lupa bagian kehidupanmu di kehidupan dunia. Dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat rusak di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat rusak\". (QS al-Qasas :77).
Kemiskinan material mendapat perhatian dari Islam dengan sepenuhnya. Islam menilai kemiskinan itu sangat membahayakan akidah, akhlak dan pola pikir manusia serta sangat membahayakan keluarga dan masyarakat. Tidak heran bila kemiskinan merupakan salah satu hal yang sangat dibenci rasulullah sehingga beliau berlindung kepada Allah dari kondisi kemiskinan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah, Rasulullah berdoa, \"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka, dari adzab neraka. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan. Dan aku juga berlindung kepad-Mu dari fitnah kemiskinan\".(HR Bukhari).
Karenanya, Islam sangat memerangi kemiskinan agar membebaskan manusia dari segala kekurangan sehingga ia bisa menikmati kehidupan yang layak dan bermartabat sesuai dengan kemuliaan manusia itu sendiri. Zakat pun diterapkan agar lilitan kemiskinan tidak lagi mendera kehidupan manusia. Zakat bukan semata ibadah vertikal, namun memiliki dampak horisontal yang nyata bagi manusia itu sendiri. Harta orang-orang kaya lewat ibadah zakat bisa tersalurkan kepada khalayak fakir-miskin sehingga kelompok papa ini dengan sendirinya bisa menikmati kehidupan yang layak dan mampu memberikan pengabdiannya yang terbaik sebagai hamba Allah maupun anggota masyarakat.
Pengentasan kemiskinan dalam Islam dikenal melalui dua cara. Pertama, anjuran Islam untuk mengeksplorasi kekayaan alam sebagai bentuk terbaik ibadah manusia di muka bumi ini. Sebagai mana firman Allah, "Dia-lah yang telah menjadikan muka bumi ini sebagai sumber kehidupan. Maka menyebarlah kalian ke seluruh pelosoknya, dan makanlah hasil rizkinya serta hanya kepada-Nya-lah kalian akan dikembalikan" (QS : al-Mulk :15). Kedua, perintah Islam untuk pendistribusian hasil kekayaan secara adil. Cara kedua ini hanya terwujud melalui ibadah zakat.
Keadilan distributif kekayaan melalui zakat adalah untuk melakukan keseimbangan antara kepemilikan private dan kepemilikan kolektif. Islam memang mengakomodasi kepemilikan private, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah ujian dan Allah memiliki pahala yang agung di sisi-Nya". (QS al-Taghabun :15). Tetapi kepemilikan pribadi ini bukanlah mutlak sehingga si pemilik bisa mengalokasikan hartanya ini sesuai dengan selera nafsunya semata. Kepemilikannya hanyalah bersifat artifisial, karena memiliki keterkaitan dengan sang Pemilik aslinya, yaitu Allah. Sebagaimana firman-Nya, "Al-Rahman yang bersemayam di Arsy. Baginya segala apa yang ada di langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya dan apa yang dikandung di dalamnya\".(QS Taha 5-6).
Ketika harta itu sepenuhnya milik Allah, maka Ia menyiapkan harta tersebut baik seluruh hamba-Nya baik yang kaya maupun yang miskin. Sebagaimana firman-Nya, \"Dan orang-orang yang dalam harta-hartanya itu terhadap hak yang nyata bagi peminta dan yang miskin\".(QS al-Maarij 24-25). Maka motivasi membayar zakat adalah memenuhi perintah Allah, bukan karena adanya gelombang protes dari kaum fakir-miskin sebagaimana yang terjadi dalam logika penerapan pajak konvensional. Hubungan relasional dalam zakat bukanlah horizontal, tetapi vertikal antara sang pembayar dengan Sang pemilik Hakiki, Allah Swt. Membayar zakat pada esensinya adalah memenuhi hak Allah.
Ibadah zakat memiliki dimensi sosial yang signifikan, yaitu terajutnya tali ikatan sosial diantara umat islam ini. Kelas-kelas sosial maupun ekonomi bukan sesuatu yang ditabukan tetapi justru dirajut dalam ikatan takaful ijtimai yang kuat sehingga bisa meciptakan kebahagiaan dan kentraman dalam hidup ini. Kerakusan dan ketamakan terhadap harta sebagaimana dalam tradis kapitalisme dengan sendirinya akan terkikis habis dengan ibadah zakat. Di lain pihak, zakat ini pula bisa menolak upaya pemerataan sosial ala sosialisme dan komunisme yang menghapus kepemilikan pribadi secara mutlak.
Secara prinsip, sudah tidak ada keraguan tentang esensi dan urgensi zakat bagi pengentasan kemiskinan ini. Tantangan selanjutnya yang menanti kita adalah bagaimana sosialisasi prinsip ini secara massif kepada masyarakat aghniyya sehingga mereka tergerak hatinya segera memenuhi panggilan ibadah maliyyah ini. Dan tak kalah pentingnya juga adalalah bagaimana me-manage pengumpulan dan pendistribusian zakat secara profesional sehingga meningkatkan daya percaya para calon muzakki untuk menyalurkan ibadahnya ini. Wallahualam bissawab.