Sabtu, 05 Desember 2009

Menimbang Revisi UU Pengelolaan Zakat


Oleh Agustin Santriana


Saat ini, topik yang tengah menjadi buah bibir di kalangan pengelola zakat di beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah wacana revisi Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Dalam usulan itu ada tiga hal yang digarisbawahi yakni, pertama, setiap orang yang mampu (muzaki) memiliki kewajiban membayar zakat. Kedua, mengenai pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak, dan ketiga, melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang memiliki cabang dari pusat hingga tingkat kelurahan/desa.


Poin pertama dan kedua merupakan kabar baik yang disyukuri oleh LAZ di seluruh Indonesia. Hal itu akan memicu masyarakat Indonesia untuk membayar zakat. Sehingga potensi zakat yang berdasarkan survei Forum Zakat (FoZ) Rp19,3 triliun dapat terealisasikan untuk membantu umat. Namun, yang menjadi persoalan serta menimbulkan pro dan kontra adalah adanya konsep sentralisasi pengelolaan zakat. Dalam revisi itu dinyatakan, seluruh dana zakat dari muzaki akan diatur dan dikelola satu koridor, yakni BAZ. Dengan demikian, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU No.38/1999, fungsi dari LAZ akan ditiadakan dan bertransformasi menjadi unit pengumpul zakat (UPZ) saja.


Berdasarkan Alquran dan sunah, zakat adalah kewajiban setiap Muslim yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Zakat juga diperintahkan untuk "diambil" dari orang kaya dan diancam sanksi bila mereka menolak. Ulama sepakat zakat adalah obligatory system dalam suatu negara. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa zakat diatur oleh negara. Namun, ulama berpendapat, dalam pelaksanaannya negara dapat mengelola sendiri atau menunjuk badan atau sekelompok orang di dalam negara tersebut untuk mengurus zakat. Untuk Indonesia, pengaturan tersebut ada di dalam UU No. 38/1999.


Alasan pemerintah mengajukan revisi tersebut agar penyaluran zakat dapat berjalan lebih transparan, rapi, dan mencegah terjadinya tumpang tindih dalam penyaluran kepada penerimanya (mustahik). Akan tetapi, menutup LAZ dan menjadikannya UPZ yang berada di bawah BAZ bukanlah hal yang bijaksana.


Di Indonesia terdapat 18 LAZ yang terdaftar di Departemen Agama. Akan tetapi, ada pula LAZ yang "liar". Di sinilah perlunya pembinaan dan pengawasan sehingga tidak muncul berbagai LAZ yang tidak memenuhi persyaratan legal. Ada sebagian LAZ yang melakukan pengelolaan zakat tanpa merasa bahwa pengelolaan zakat haruslah memenuhi berbagai persyaratan dan ketentuan, baik dari sisi syariah maupun legal. Akan tetapi, banyak juga LAZ yang menunjukkan kinerja amanah dan profesional. Mereka bersedia mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pemerintah.


BAZ pun punya masalah tersendiri. Ada BAZ yang jangankan diaudit akuntan publik, memublikasikan laporan keuangan saja tidak mau. Ada juga BAZ yang inginnya ongkang-ongkang kaki, lalu uang zakat mengalir sendiri ke pundi-pundinya. Namun, tetap saja banyak BAZ yang kinerjanya bagus, amanah, dan profesional.


Melihat fenomena tersebut adalah sangat tidak tepat melakukan sentralisasi. Sebab, baik LAZ ataupun BAZ memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika saat ini pencapaian LAZ mampu melebihi BAZ, maka dapat dikatakan masyarakat lebih percaya pada swasta untuk mengelola zakatnya ketimbang menyerahkannya kepada pemerintah.


Akan tetapi, tidaklah pantas memperdebatkan siapa yang lebih dipercaya umat Islam karena yang terpenting adalah komitmen, kesungguhan, dan keterbukaan yang terus-menerus dalam rangka menata zakat. Bila itu terus dilakukan, masalah-masalah manajemen seperti itu bisa diatasi. Apalagi saat ini masalah utama yang menggelayuti perzakatan Indonesia adalah minimnya pengetahuan masyarakat akan zakat hingga optimalisasi zakat dalam pemberdayaan masyarakat.


Seharusnya, baik LAZ maupun BAZ terus berupaya dan berkonsentrasi memecahkan permasalahan yang tengah terjadi di dalam masyarakat. Bukan justru menimbulkan problematika baru seperti sentralisasi pengelolaan zakat yang dikhawatirkan dapat memecah belah umat Islam. Penyadaran si kaya untuk membantu si miskin dengan medium zakat melalui sebuah lembaga adalah pekerjaan utama yang harus dilakukan oleh BAZ dan LAZ.


Pengelolaan yang baik dan produktif terhadap dana zakat mutlak diperlukan setiap organisasi pengelola zakat agar efektivitas serta pemberdayaan masyarakat dapat segera tercapai. Sebab, tidak semua organisasi pengelola memiliki visi dan misi yang sama mengenai pengelolaan zakat. Masih ada lembaga yang menggunakan konsep konsumerisme dalam penyaluran zakat, yakni memberikan uang secara langsung. Padahal zakat akan lebih bermanfaat bila disalurkan dalam hal yang produktif. Wallahualam.***

Tidak ada komentar: