Jumat, 11 Desember 2009

TRAGEDI LEUWIGAJAH


2005 Udara nampak mendung di wilayah Leuwi Gajah, Cimahi. Beberapa relawan dan petugas terlihat sibuk menggali timbunan lonsor, mencari korban yang diperkirakan masih banyak, beberapa orang lagi sibuk membagikan obat-obatan dan makanan kepada penduduk yangn menjadi korban longsor sampah dua hari lalu itu. Ratusan pengungsi sebagiannya di tampung di tenda-tenda darurat, dengan perbekalan dan makanan seadanya.

Malam mengerikan yang merenggut banyak korban. Tiba-tiba kampung ini menjadi berita nasional saat ini, media cetak, dan elektronik meliput berita duka kampung ini dengan tuliusan tebal, bahkan sebagian media lain menaruhnya sebagai cover dengan hurup dan gambar yang dibikin besar. Kini seluruh Indonesia tahu, untuk setidaknya mendengar dan melihat di televis, tentang permasalahan dan akibatnya dikampung ini, sampah. Dan kini semua memperbincangkannya, setelah terlebih dahulu mengambil tumbal yang sangat banyak.

Ya, sampah. Aku sendiri masih tak percaya dengan kejadian ini semua, dan semua berawal dari sampah. Sampah yang telah merenggut seluruh keluargaku dan harapanku. Ibuku, ayahku…serta adikku. Sampah yang selalu menebarkan bau busuk tiap hari di kampungklu ini, sampah yang merupakan barang buangan dari orang-orang kota, sampah yang selalu disepelekan dan dilupakan. Sampah..! kenapa kami yang hatrus jadi korban?

Aku masih duduk, tertunduk lemas dekat posko relawan yang sejak dua hari kemarin berdiri, plastik hitam berisi cimol pedas pesanan adikku masih ku genggam. Aku sendiri bingung, entah apa yang harus kulakukan kini, mayat kedua orang tuaku telah dievakuasi kemarin. Atas pertimbangan bibiku kedua jenazahnya di bawa ke Sumedang. Sementara aku menunggu disini, menanti kabar tentang adikku yang masih belum ditemukan. Aku hanya berharap semoga ia selamat, meski aku tahu kemungkinannya sangat kecil. Karena bencana ini menimpa hampir seluruh Kampung.

Meski shock, aku masih bisa menahan diri, aku mencoba menguatkan diri setelah apa yang terjadi dengan keluargaku, tetangga dan teman-temanku, aku juga tidak tahu siapa yang harus kusalahkan dari kejadian ini. Apakah pemerintah yang lamban bertindak? Ataukah para pemulung yang selalu mencuri pipa penyalur panas limbah? Aku menyesal, seandainya waktu itu aku membawa adikku, setidaknya aku tidak akan kehilangan seluruh anggota keluargaku.

Aku menarik nafas panjang, butiran-butiran hangat terus keluar dari mataku. Aku harus tabah! Lalu kupejamkan mata kuat-kuat, mencoba mengingat pertemuan terakhir kami siang itu, pertemuan yang tak akan terulang lagi…

“Teh Imas, Asep ngiring (ikut)”. Rengek Asep adikku yang baru berumur lima tahun ini, rupanya ia mendengar kalau aku akan pergi mengunjungi bibiku di Sumedang, padahal ia sedang guyang (main Lumpur-red) dengan teman-temannya di genangan air, genangan yang selalu ada manakala hujan turun mengguyur kampung kecil kami.

“Asep di rumah aja, Teteh gak akan lama, Asep main lagi aja sama Ujang” bujukku padanya.

“Gak mau! Asep Pingin ikut!” adikku bersikeras, wajah polosnya menampakan keinginan yang kuat.

“Asep Ulah bedegong (jangan nakal)! Hoyong diciwit (mau dicubit)!” aku membentaknya, dan benar saja setelah kubentak ia langsungh terdiam, air matanya keluar, lalu menangis sesenggukan. Sebenarnya aku tak tega melihatnya begitu, tapi apa boleh buat, cuaca cukup mendung, bisa-bisa kehujanan dijalan. Apalagi aku membawa barang, bisa cukup ribet kalau aku harus membawa Asep.

“Nya dicandak we atuh si Asep” Ambu (Ibu) membujukku.

”Tapi Imas nggak lama bu, nanti sore juga kembali, kan cuman nganterin baju pesanan bibi aja, lagi pula Asep kan belum mandi.” Aku beralasan.

“Ya sudah cepat berangkat nanti keburu hujan.” Akhirnya Abah angkat suara.

Akupun pergi. Meski aku juga tidak tahu, perasaanku tidak enak kala itu. Apalagi saat kutatap Asep. Ia tidak bicara apa-apa ketika kubujuk akan kubelikan cimol pedas kesukaannya, agar ia tidak ikut denganku ke sumedang. Mata polosnya seolah-olah mengisyaratkan sesuatu yang tidak aku pahami. Tapi, ah..mungkin ini hanyalah perasaanku saja. Soalnya semalam aku kurang tidur membantu ibu menyelesaikan baju-baju pesanan bibi, untuk pernikahan anaknya dua minggu lagi.

Dipersimpangan jalan sekilas sempat kulihat Asep masih memandangiku, sorot mata mungilnya begitu memelas, mungkin ia kecewa karena tak kubawa pergi.

Jam tiga sore aku sampai di Sumedang, hujan turun dengan deras diselingi petir dan angin yang cukup kencang, setelah beristirahat sebentar dan menunggu hujan reda, aku berniat untuk pulang, namun bibi mencegahku dan menyuruhku agar menginap barang semalam. Lagipula hujan begitu besar dan mungkin akan reda nanti malam, meski agak berat hati karena aku sudah terlanjur membeli cimol pedas untuk kubawa pulang buat Asep. Tapi apa boleh buat, toh disimpan sampai besok pun mungkin tidak akan basi.

Dan jadilah malam itu aku menginap di rrumah bibi, dengan perasaan yang tidak enak. Tiba-tiba saja aku teringat cimol pedas yang tadi kubeli, aku ingin segera memberikannya pada Asep, dan melihat wajah mungilnya yang sumringah saat kusodorkan makanan pavoritnya itu. Ah menunggu pagi, sepertinya terasa lama. Dan jam menunjukan angka sepuluh waktu itu. Aku pun tertidur.

* * *

Pagi itu kami panik luar biasa, pamanku yang menerima telepon dikabari dari Cimahi, bahwa kampung Leuwi Gajah semalam tertimbun longsoran sampah, diperkirakan memakan korban yang cukup banyak. Dalam keadaan was-was dan tegang, aku hanya terdiam bingung, aku nyaris pingsan mendengar kabar itu, namun kucoba berdoa pasrah., berharap semoga keluargaku selamat. Meski aku tahu rumah panggungku tak cukup kuat untuk menahan berat gunungan sampah yang terjatuh, jika seandainya rumahku ikut tertimpa.

Bibi mengontak seluruh keluarga yang lain, dan pagi itu, dengan menyewa sebuah mobil kami berangkat ke Cimahi, untuk mematikan keselamatan keluarg kami.

Bibi menjerit histeris saat kami tiba di Leuwi Gajah, sementara yang lain berusaha mencari kabar tentang kemungkinan keselamatan keluarga kami. Aku hanya berdiri termangu, mulutku terkunci rapat. Begitu melihat kondisi rumahku yang sudah hancur berantakan dan hanya terlihat puing-puing yang dipenuhi gundukan sampah.

Sesaat aku terdiam kaku, mataku menatap kosong gundukan dan puing-puing rumah panggungku yang sudah tak berbentuk lagi. Sampai akhirnya aku merasa dunia berputar, kepalaku serasa dipenuhi kabut hitam,, mataku berkunang-kunang dan perlahan segalanya menjadi gelap, aku tak sadarkan diri.

* * *

Kutatap sekali lagi plastik hitam berisi cimol pedas kesukaan Asep. Janji yang belum sempat aku penuhi. Oleh-oleh yang belum sempat kuberikan. Aku berharap ia mau memaafkanku karena tidak mau mengajaknya pergi, meski aku tahu ini adalah ketentuan-Nya, ketentuan yang dipilih oleh orang-orang yang saya sendiri tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Karena aku tahu, bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu tanpa sebuah alasan.

Wajah mungilnya masih terbayang-bayang saat terakhir kali kami bertatapan siang itu. Sementara kedua orang tuaku..aku belum sempat berbakti pada mereka. Aku belum sempat membalas segala kebaikan mereka. Abah, Ambu! Semoga Allah mengampuni segala dosa kalian, dan menerima kalian disisi-Nya.

Dan kini, aku sendiri tidak tahu, akankah hari esok dapat kulalui dengan indah, tanpa orang tuaku dan juga..adik kecilku.

Hujan rintrik mulai turun, bau amis mayat bercampur sampah menyengat serta menyebar kemana-mana, sementara hilir mudik para relawan dan petugas semakin sibuk. Dan aku masih menatap gundukan puing rumahku, berharap muncul dari puing itu sesosok tubuh mungil, melambai-lambai dan kemudian berlari ke arahku meminta cimol pedasnya.

Ya, dan sampai saat ini, aku masih menunggu, menunggu kabar adikku yang masih belum ditemukan. Dan aku akan tetap menunggu, menunggu datangnya keajaiban, meski mungkin ia kini tengah tersenyum padaku…disana.

“Sep, Maafkan teteh…”

Tidak ada komentar: